Iamelanjutkan, dalam pemahaman masyarakat Jawa, sabda itu harus memuat tiga esensi yakni Sabdo Dadi, Sabdo Langit, Sabdo Pandita Ratu tan keno wola-wali (yang tidak boleh ragu dan harus dipatuhi). "Tidak ada itu keliru,'' ucapnya.
“Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali.” Kalimat tersebut adalah dasar dari dasar, inti dari inti pemerintahan Jawa. Jika diterjemahkan secara umum, kalimat tersebut berarti “sabda raja dan pemuka agama tidak boleh plin-plan.” Falsafah yang dalam, teduh, namun kuat dan kita dalami, kalimat ini adalah pengingat bagi raja atau pemimpin saat bersikap. Seorang raja dan pemimpin harus tegas dalam mengambil keputusan. Tidak ada istilah plin-plan atau berubah-ubah kata. Seorang raja atau pemimpin perlu ingat, setiap ucapan yang dikeluarkan adalah pedoman bagi rakyatnya. Keputusan yang plin-plan dapat menimbulkan kebingungan dalam falsafah ini benar dihayati? Kita bisa memahami falsafah ini dari kisah rakyat tentang Kyai Ageng Prawiro Purbo. Menurut kisah ini, Ndoro Purbo adalah keponakan dari Sri Sultan HB VII. Blio dikenal sebagai sosok yang membumi, jail, namun digdaya. Kejahilan ini menyebabkan Sultan jengah dan mengatai Ndoro Purbo sebagai orang yang terjadi? Seketika itu juga Ndoro Purbo menjadi “orang gila”. Blio berakhir dengan hidup menggelandang. Banyak pihak yang menyatakan bahwa Ndoro Purbo menjadi gila sebagai bentuk kepatuhan pada sabda Sultan. Jika Sultan sudah berkehendak agar Ndoro Purbo menjadi gila, Ndoro Purbo akan gila. Inilah contoh ekstrem dari pemaknaan Sabda Pandita ini adalah pisau bermata dua bagi seorang raja atau pemimpin. Segala keputusan yang diambil akan diterima oleh rakyat sepenuh hati. Jika raja tersebut bijaksana, keputusannya akan berbuah manis bagi masyarakatnya. Namun, raja yang lalim akan membuahkan keputusan yang merusak hidup ada satu lagi jenis raja dalam bersabda. Dia adalah raja yang plin-plan. Raja plin-plan akan melahirkan suasana yang tidak menentu. Ketidakpastian dari keputusan raja yang plin-plan ini tidak pernah membawa efek positif bagi rakyatnya. Jika sabdanya saja plin-plan, bagaimana rakyat dapat berpegang pada sabda sang raja?Oke, saya pikir penjelasan tentang konsep falsafah ini sudah cukup. Sekarang mari kita pindah suasana. Dari kondisi kebatinan dan menilik masa lalu menuju kondisi yang nyata dan yang sedang kita alami. Yang saya maksud adalah kondisi masyarakat Jogja saat diterpa pageblug Covid-19. Dan tentu kita tidak akan jauh-jauh dari pusat pemerintahan masih hangat dalam pikiran kita tentang pencapaian Jogja. Pada Juli 2020, Jogja mendapat penghargaan lisan dari Presiden Joko Widodo. Menurut blio, Jogja tepatnya DIY adalah provinsi terbaik dalam penanganan Covid-19. Tentu masyarakat berbahagia. Naik pula kebanggaan masyarakat pada figur pemimpin rakyat Jogja, yaitu Sri Sultan HB X. Bahkan, banyak warga Jogja yang menyarankan provinsi lain mengikuti jejak daerah istimewa ini. Bau-bau congkaknya sangat sehari sebelum tulisan ini saya tulis, terjadi pecah rekor penambahan kasus Covid-19. Pada hari Sabtu 19/9/2020, terdapat tambahan 74 kasus baru terkonfirmasi Covid-19 di DIY. Menurut juru bicara Pemda DIY untuk penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, sebelumnya penambahan kasus tertinggi di DIY adalah 67 mirisnya lagi, sebelum lonjakan ini juga ditemukan kasus terkonfirmasi di area Malioboro. Bahkan ada satu pedagang kaki lima yang meninggal dunia serta terkonfirmasi positif. Jika wilayah jujugan pariwisata Jogja saja menjadi kluster penyebaran Covid-19, artinya penyebaran virus ini tidak boleh disepelekan. Lalu bagaimana Sri Sultan HB X selaku gubernur dan raja Jogja menanggapi ini?Dari hasil liputan Harian Jogja, Sultan menyatakan, “Ora papa nek positif yo wes nang rumah sakit tidak apa-apa kalau positif ya dirawat di rumah sakit.” Sultan juga mengatakan saat ini lebih baik beradaptasi karena masyarakat butuh pemasukan. “Kita adaptasi saja jangan menakut-nakuti, teneh kalau semua ditutup, rakyat Jogja laper mengko.”Uhm… Mungkin Anda bertanya-tanya dengan maksud pernyataan ini. Saya pribadi tidak berani berspekulasi banyak. Namun, secara gamblang, Sultan menekankan bahwa kawula Jogja harus beradaptasi. Nah, beradaptasi dengan apa? Dengan kebiasaan baru atau dengan penambahan angka positif Covid-19?Oke, kita kembali dalam falsafah sabda pandita ratu tadi. Sultan menyatakan bahwa jangan ada yang menakut-nakuti perihal Covid-19. Ingat, perkataan dan keputusan Sultan adalah panduan bagi rakyat Jogja. Jadi wajar jika ada kesan meremehkan dari masyarakat. Toh, Sultan bilang jangan menakut-nakuti Sultan juga memberikan pernyataan pada wartawan saat ada pedagang sayur di Beringharjo positif Covid-19. “Ya saya kira wajar aja. Kita jangan menganggap Corona Covid-19 itu terlalu berbahaya.” Sultan juga menambahkan “Kita adaptasi aja, sakit ya sudah di rumah sakit. Karena pandemi ini tidak peak masuk puncak terus turun. Jadi selesainya kapan kita tidak tahu.”Wah, pernyataan ini sangat extraordinary. Ketika pemerintah pusat dan daerah lain berlomba-lomba mengingatkan Covid-19 berbahaya, Sultan menyatakan agar kita rakyat Jogja jangan menganggap pandemi ini terlalu berbahaya. Tentu pernyataan ini menimbulkan sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Sultan tidak akan mencla-mencle dalam membuat pernyataan. Jadi, warga Jogja telah mendapat panduan dari Sultan, bahwa Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Tersenyumlah, pernyataan ini sangat menyenangkan bagi warga Jogja. Ketika daerah lain bersiaga bahkan ingin menerapkan PSBB kembali, warga Jogja diajak untuk memandang Covid-19 tidak terlalu berbahaya. Jadi, wajar jika tidak ada sikap khusus selain mematuhi protokol kesehatan. Pokoknya loss doll saja, Sultan menyatakan Covid-19 tidak terlalu protokol kesehatan di wilayah Malioboro sesudah ada kasus positif, Sultan juga menyampaikan “Protokolnya ora lalu itu aja, itu Malioboro merupakan tanggung jawab Pak Wali Kota Jogja.” Pernyataan ini seperti “lempar masalah”, tapi ya sudahlah. Ingat, sabda pandita ratu. Halo, Pak Haryadi, njenengan dicari Ngarso tidak ada pernyataan yang lebih dipertanyakan “sabda pandita ratu”-nya selain saat Sultan menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti demam berdarah DB. Sultan menyatakan, “Jadi jangan berasumsi kalau kena Corona sepertinya bikin geger seluruh Yogyakarta, dianggap saja sama DB juga sama kok.”Baik, mari kita pahami secara positif. Pasti Ngarso Dalem tidak ingin kepanikan berlebihan ketika muncul kasus Covid-19. Tentu harapan ini juga baik bagi kita rakyat Jogja. Namun, apakah harus menyamakan antara Covid-19 dengan DB? Apakah pernyataan ini pantas diungkapkan pada masa di mana rakyat bersama-sama saling mengawasi dan menjaga?Menyatakan bahwa Covid-19 sama seperti DB bisa menjadi bola liar bagi masyarakat Jogja. Dan terbukti dari tanggapan netizen, banyak yang menyetujui sekaligus mengamini untuk tidak takut pada Covid-19. Bahkan banyak yang menyatakan penanganan Covid-19 selama ini terlalu berlebihan. Nah kan jadi loss doll. Pasti JRX tersenyum ketika membaca berita saya, falsafah sabda pandita ratu tengah diuji. Ngarso Dalem sedang dihadapkan pada kondisi yang mana kepemimpinan dan arahan blio menjadi haluan bersama rakyat Jogja. Namun, bagaimana falsafah ini dihadapkan pada pernyataan blio yang terkesan menggampangkan dan bertolak belakang dengan usaha penanganan Covid-19? Apakah Ngarso Dalem tetap dapat mempertahankan sikap tan keno wola-wali?Ngomong-ngomong, saya KTP Jogja. Lahir juga di Jogja. Trah Jogja juga. Bukan apa-apa, hanya sekadar memberi tahu. JUGA Menyuruh Orang untuk Cari Kerja biar Nggak Protes Melulu Itu Aneh dan tulisan Prabu Yudianto Mojok merupakan platform User Generated Content UGC untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di diperbarui pada 22 September 2020 oleh Rizky Prasetya
moraldan etis karena sabda pandita pa-ngandikaning ratu sepisan tan kena wola wali (sabda pendeta, ucapan raja, tak akan ditarik lagi) sehingga barang siapa men-coba menentangnya akan dihancurkan dan ditiadakan dengan kekerasan. Dalam historiografi tradisional Indone-sia, fenomena kekuasaan seperti itu telah lama menjadi kanon penulisan sejarah
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan. Cetak Halaman Ini
Beritainter nusa.com,Jakarta - Falsafah Jawa berbunyi "sabda pandita ratu tan kena wola wali". Falsafah tersebut bermakna bahwa seorang raja atau seorang pemimpin (presiden) tidak boleh berganti ucapan atau keputusan, karena keputusan seorang pemimpin sekali diucapkan, maka ucapannya akan menjadi pedoman, sumber rujukan semua orang, baik bagi pejabat negara yang menjalankan roda
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi"Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu. Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu. Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya. Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Tubuh Ksatria Panggilan hanya dapat dijadikan batu dengan menggunakan Sabda Pandita Ratu yang melekat didalam aliran darah dan nafas yang mulia raja!" jawab patung Nyi Loro Jonggrang. Sabda Pandhita Ratu Tan Kena wola-wali Berbudi Bhawalaksana! Begitu tulisan keemasan di dinding selesai terbaca, tiba-tiba dengan suara menggelegar laksana
Oleh Majaputera Karniawan, Dalam kebudayaan Jawa, kita mengenal istilah “Sabda pandita ratu, tan kena wola wali”. Secara etimologi kata ini terdiri dari kata “Sabda” yang berarti kata, petuah, ucapan dari seorang raja/pemimpin; Kata “Pandita” adalah kata dalam Bahasa Sansekerta yang berarti “Orang yang arif bijaksana”; Kata “Ratu” sendiri dalam bahasa jawa berarti “Iswara”, kata Iswara ईश्वर Īśvara dalam Bahasa Sansekerta masuk dalam ranah filsafat agama Hindu yang berarti pengendali atau penguasa. Bila dikesimpulkan, makna eksplisit dari Sabda Pandita Ratu adalah “Petuah dari penguasa yang arif/bijaksana”. Sedangkan kata “tan kena wola wali” bisa diartikan sebagai tidak boleh plin plan mencla mencle. Artinya sebagai pucuk pimpinan tertinggi, harus memiliki satu buah pendirian yang kuat dan tidak boleh berubah-ubah. Bagaimana bila berubah-ubah? Tentu hal ini akan menyulitkan para pelaksana dalam menaati apa yang menjadi sabda petuah tersebut. Ambil kasus dalam kisah teks Ramayana. Di mana sang Maha-Rajadiraja dari Ayodyapura bernama Prabhu Dasarata yang memiliki tugas utama “ksayanikangpapa nahan prayojana” menyirnakan kepapaan seluruh masyarakat yang dipimpin. Dikarenakan usia, beliau mulai mentransmisikan takhta kekuasaan pada generasi penerusnya. Saat itu ada beberapa putera mahkota dari 3 isteri Sang Prabhu, yakni 1 Ramawijaya putera dari Dewi Kausalya, 2 Bharata yang merupakan putera Dewi Kakayi, serta Laksamana dan Satrugna putera dari Dewi Sumitra. Pada mulanya keluar “Sabda Pandita Ratu” yang kedua, yakni Prabhu Dasarata menobatkan Ramawijaya sebagai penggantinya. Penobatan itu didukung oleh segenap pembesar kerajaan dan rakyat yang menyambutnya dengan gegap gempita. Pada mulanya semua pihak menerima, namun pelayan dari Dewi Kakayi yang bernama Mantara menghasut Sang Dewi agar meminta Prabhu Dasarata memberikan takhta kerajaan pada Bharata puteranya. Sebagai pengikat, Mantara meminta Dewi Kakayi mengingatkan Sang Prabhu dengan “Sabda Pandita Ratu” yang pertama, yakni janjinya akan menobatkan putranya dengan Dewi Kakayi sebagai Raja Ayodyapura. Hal ini ia sabdakan saat meminang Dewi Kakayi dahulu. Menghadapi dilematika demikian, Sang Prabhu dengan terpaksa “Melanggar” Sabda Pandita Ratu yang kedua demi menuruti Sabda yang pertama. Meski pada akhirnya kedua Sabda itu tetap dijalankan Sri Ramawijaya yang pada akhirnya tetap menjadi penerus takhta kerajaan setelah mengalami masa pembuangan dengan segala insiden yang dideritanya sebelum kembali sebagai maharaja. Sebagai akibat dari tidak konsistennya keputusan Sabda sang Prabhu, dalam teks kisah Ramayana digambarkan Sang Prabhu Dasarata mendapatkan ganjaran berupa wafat karena tidak kuasa menanggung derita akan rasa bersalah, karena sebagai maharaja bersabda atas dasar tendensi subjektif diterima lamarannya oleh Dewi Kakayi. Dari kisah ini bisa kita tarik beberapa kesimpulan, di antaranya Seorang pemimpin harus membuat keputusan yang objektif demi kepentingan semua pihak, bukan hanya kepentingan kelompok atau individu tertentu. Seorang pemimpin harus membuat keputusan yang bebas dari tendensi dan teguh pada pendiriannya. Setiap keputusan seorang pemimpin, terlebih pemimpin negara, itu bersifat sakral dan tidak bisa sembarangan dalam mengeluarkannya. Seorang pemimpin harus mengeluarkan keputusan yang bijaksana. Karena apabila tidak bijaksana, hal ini akan berdampak pada setiap lapisan rakyat yang dipimpinnya, singkat kata kalau rajanya ngawur, wajar rakyanya sengsara dan nelangsa. Keputusan apapun yang telah diambil seorang pemimpin akan menjadi kewajiban titah bagi mereka yang dipimpinnya. Artinya pesan dan nilai dalam perintah tersebut akan menjadi kebenaran hukum bagi mereka dan wajib diimplementasikan. Maka dari itu, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seorang pemimpin harus mendapat pendampingan berupa pertimbangan kebijakan-strategis dari mereka yang ahli di bidangnya, sekaligus memiliki pribadi seorang pandita orang bijaksana. Semua ini demi terlaksananya pemerintahan dengan baik. Kepemimpinan memang tidaklah mudah, namun harus ada yang mengisi posisi sebagai pemimpin. Memilih seorang pemimpin tidak bisa sembarangan dan sebagai pemimpin yang terpilih tidak bisa sembarangan dalam bertindak apalagi sampai bertindak hanya demi diri/kelompoknya sendiri saja. Pemimpin memiliki tugas mengayomi dan membawa kemajuan peradaban baik di masa kini maupun di masa depan. Posisi strategik seorang pemimpin juga menyematkan kewajiban dan tanggung jawab yang tinggi, sehingga tidak bisa asal-asalan. Inilah kepemimpinan yang Adiluhung Berkualitas tinggi, bernilai penuh keluhuran. Meski begitu saat ini kita dihadapkan dengan era modern yang penuh disrupsi, perubahan sangat cepat dan dinamis. Setiap kebijakan yang diambil akan mengarahkan kemana dan bagaimana kelak nasib negeri atau organisasi/komunitas, dalam lini lebih kecil di masa depan. Celakanya adalah masih banyak mereka yang memilih pemimpin bukan atas dasar kapasitas dan kapabilitas. Melainkan karena dasar figur yang populis dan/atau memiliki pengaruh besar semata. Ambil contoh yang banyak beredar, seorang tokoh yang sudah kawakan dan memiliki banyak pengalaman dalam suatu bidang, akan dikalahkan dengan figur yang lebih populis dan/atau pengaruh besar semata Biasanya tipe mereka yang banyak menata kata namun tidak bisa berbuat banyak. Maka sering kali ada sosok figur populis tertentu diusungkan menjadi seorang pemimpin, hal ini bukan atas dasar kapasitas dan kapabilitas, melainkan karena figur ini banyak disukai para pemangku kepentingan semata, meskipun pada akhirnya akan membuat kebijakan yang tidak tepat sasaran, beban ini menjadi tanggungan semua lapisan warga yang dipimpinnya. Dari sini bisa kita lihat beberapa sudut pandang, bagi seorang pemimpin penunjukan sebagai figur “Pandita Ratu” adalah tanggung jawab pisau bermata dua, bila dijalankan dengan baik dan bijaksana membawa keberkahan, bila dijalankan dengan asal-asalan menjadi bencana bagi diri dan warganya. Sedangkan bagi rakyat dan para pemangku kepentingan yang akan dipimpin, menunjuk seseorang menjadi figur “Pandita Ratu” hendaknya atas dasar sikap pandita arif-bijaksana, kapasitas, dan kapabilitasnya! Bukan karena popularitasnya semata, karena bila salah memilih pemimpin, juga akan berimplikasi pada mereka yang dipimpin. Daftar Pustaka Diakses 7 Februari 2023. Diakses 7 Februari 2023. Pidada, Jelantik Sutanegara. Sabda Pandita Ratu. Diakses 7 Februari 2023. Diakses 7 Februari 2023.
Normakepemimpinan Jawa dikenal dengan ungkapan sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Maksudnya seorang pemimpin harus konsekuen untuk melaksanakan dan mewujudkan apa yang telah dikatakan. Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai orang yang bersifat berbudi bawa laksana yaitu teguh berpegang pada janji. Rangkuman Asthabrata
SeorangRaja/pemimpin harus teguh memegang janji yang telah diucapkan, sebagaimana sesanti "Sabda Pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali". Ucapan seorang Raja adalah janji, sehingga harus dilaksanakan dan tidak boleh dibatalkan atau di ingkari. "Esuk dhele sore tempe" (pagi kedelai, sore hari sudah berubah menjadi tempe) merupakan ungkapan yang harus
Keywords Sabda pandhita ratu, leader, leadership, learning, Yogyakarta puppet 1. Pendahuluan Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan yang berbunyi "sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali". Secara harfiah, artinya adalah "ucapan pendeta (dan) raja, tidak boleh diulang-ulang". Maknanya adalah bahwa seorang
5M2LOj. u43k6ltknk.pages.dev/140u43k6ltknk.pages.dev/58u43k6ltknk.pages.dev/124u43k6ltknk.pages.dev/374u43k6ltknk.pages.dev/195u43k6ltknk.pages.dev/308u43k6ltknk.pages.dev/214u43k6ltknk.pages.dev/160u43k6ltknk.pages.dev/211
sabda pandita ratu tan kena wola wali