Deklarasicapres Sultan Hamengku Buwono X pada 28 Oktober 2008 dinilainya bisa ditangkap sebagai 'sabda pandita ratu'."Sebagai sabda yang diucapkan raja, memang tidak boleh berubah-ubah. 'Tan kena wola-wali', artinya jika sabda itu untuk presiden, mengapa harus berubah menjadi wakil presiden wapres," terang Arwan.
Jakarta - Falsafah Jawa berbunyi "sabda pandita ratu tan kena wola wali". Falsafah tersebut bermakna bahwa seorang raja atau seorang pemimpin presiden tidak boleh berganti ucapan atau keputusan, karena keputusan seorang pemimpin sekali diucapkan, maka ucapannya akan menjadi pedoman, sumber rujukan semua orang, baik bagi pejabat negara yang menjalankan roda pemerintahan maupun kepada rakyat sebagai warga negara. Artinya, seorang presiden ditempatkan sebagai tokoh utama dan paling strategis dan harus jalankan oleh para pembantu-pembantu presiden. Dalam konteks keindonesiaan, falsafah tersebut telah diadopsi dalam bingkai ketatanegaraan, yakni dalam kesepakatan menganut sistem presidensial. Jika ada yang mengatakan enak benar jadi presiden, ya memang begitulah konsekuensi pilihan negara yang sepakat untuk menguatkan sistem presidensial. Konsekuensi logisnya adalah menempatkan presiden sebagai tokoh utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan, sehingga keputusan dan arahan presiden harus dijalankan oleh IlusiSistem presidensial yang dianut Indonesia menempatkan presiden sebagai tokoh utama dan wajib diikuti oleh bawahannya tinggal ilusi belaka. Contoh, beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo dalam menyikapi polemik Tes Wawasan Kebangsaan TWK pegawai KPK menjalankan apa yang disebut "sabda pandita ratu". Dalam pidatonya, presiden memberikan arahan yang berbunyiKomisi Pemberantasan Korupsi, KPK, harus memiliki SDM yang baik dan berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pengalihan status KPK menjadi ASN harus menjadi bagian upaya sistem pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. hasil tes wawasan kebangsaan hendaknya sebagai masukan perbaikan KPK, baik kepada Individu-individu maupun institusi KPK dan tidak serta merta menjadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat, masih ada peluang untuk memperbaiki, melalui pendidikan wawasan kebangsaan. Dan perlu dilakukan perbaikan pada level individual maupun organisasi. Saya sependapat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, yang mengatakan bahwa proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Saya minta para pihak yang terkait, khususnya pimpinan KPK, Kemen PAN RB dan Kepala BKN untuk merancang tindak lanjut 75 pegawai KPK yang tidak lulus tes dengan prinsip-prinsip yang saya sampaikan tadi. Alih-alih menjalankan perintah presiden, KPK, Badan Kepegawaian Nasional BKN, Kemenkumham, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengabaikan perintah Presiden. Mereka memilih untuk memutuskan 51 pegawai KPK tidak dapat diangkat menjadi ASN, sementara 24 pegawai dinyatakan masih dapat itu, bukannya berdarah-darah pasangan badan terdepan untuk mempertahankan anak buah agar tetap sebagai pegawai KPK, pada saat jumpa pers di Gedung BKN, Komisioner KPK menyatakan bahwa dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat hasil wawasan kebangsaan, menghasilkan 24 pegawai yang masih dimungkinkan dilakukan pembinaan dan 51 pegawai KPK warnanya sudah merah, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan sebuah bahwa 51 pegawai KPK yang sudah memiliki rapor merah, sehingga tidak dapat dibina lagi merupakan kesalahan fatal dan offside. Padahal kewenangan pembinaan ASN ada di tangan presiden. Coba lihat Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2020 tentang Management ASN, Pasal 3 Ayat 1 Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Garam di LautSaya berpendapat bahwa TWK yang dilakukan kepada pegawai KPK tersebut sama dengan "nguyahi banyu segara" alias menyebar garam di laut. Tes wawasan kebangsaan yang seharusnya tidak perlu diadakan, tetapi ngotot diadakan. Artinya TWK ini adalah proses yang mengada-ada. Apakah ini fiktif ? Kalau merujuk pada Putusan MK tentang Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK, tentu ini bukan fiktif, karena tidak terdapat dalam katanya, Tes Wawasan Kebangsaan tersebut berfungsi sebagai tool untuk mengukur seberapa besar dukungan, kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah, aspek keterpengaruhan terhadap lingkungan dan aspek pribadi keyakinan, nilai dan motivasi pegawai KPK akibat Revisi UU KPK yang mensyaratkan bahwa pegawai KPK menjadi yang mengada-ada itu semakin terang, yang ada hanyalah upaya penyingkiran orang yang berintegritas dan jujur tanpa pesanan dalam upaya pemberantasan korupsi. Maka sangat tepat jika muncul slogan "Berani Jujur Dipecat". Sangat mustahil jika penyidik-penyidik yang telah lama di KPK, belasan tahun di KPK, yang telah banyak melakukan OTT, telah terbukti menangani kasus korupsi besar di Indonesia tetapi tidak memiliki jiwa nasionalisme. Sungguh tidak mungkin jika pegawai KPK yang membangun jaringan antikorupsi di daerah, membangun sistem antikorupsi di lintas lembaga, lintas partai, tetapi tidak memiliki rasa cinta terhadap NKRI dan setia terhadap patut dipertanyakan adalah apakah kerja-kerja nyata pemberantasan korupsi bukan cerminan rasa cinta terhadap NKRI? Apakah dengan menangkap maling negara bukan indikator rasa setia terhadap Pancasila? Apakah negara ini hanya mengakui bahwa orang yang setia terhadap bangsa adalah orang-orang yang lantang secara verbal mengucap lafal "NKRI HARGA MATI"? Ah, sudahlah!Merintangi Proses PenyidikanKita ketahui bersama bahwa dari 75 pegawai yang tidak lulus TWK ini adalah penyidik independen KPK. Saat ini mereka penyidik independen KPK ini sedang menangani kasus-kasus besar, bansos Covid-19 mantan Menteri Soaial Juliari Batubara, kasus bibit benih lobster Eddy Prabowo Mantan Menteri Kelautan, kasus Bupati Tanjung Balai yang diduga menyeret Komisioner KPK, dan beberapa kasus besar lainnya. Keputusan Komisioner KPK yang meminta 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan merupakan wujud nyata upaya merintangi proses penyidikan obstruction of justice, karena penuntasan kasus-kasus besar yang sedang mereka tangani pasti akan Syamsu Hidayat Badan Pekerja MCW Malang mmu/mmu
Sehubungandengan itu, is tidak dapat dipertanyakan dan ucapannya mempunyai kekuatan mengikat dan menekan secara moral dan etis karena sabda pandita pangandikaning ratu sepisan tan kena wola wali (sabda pendeta, ucapan raja, tak akan ditarik lagi) sehingga barang siapa mencoba menentangnya akan dihancurkan dan ditiadakan dengan kekerasan . Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan. Cetak Halaman Ini Dalammasyarakat Jawa ada ungkapan "Sabda pandita ratu tan kena wola wali" atau yang artinya kurang lebih bahwa ucapan dari seorang yang tinggi martabatnya tidak boleh berganti-ganti ucapan atau keputusan. Karena kata-kata seorang yang tinggi martabatnya, seperti raja atau pemimpin itu, sekali mengucapkan perkataannya, maka ucapannya akan Sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Ungkapan ini mengandung salah satu kualitas, yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin sejati. Apa Itu Sabda Pandita Ratu? Sabda pandita ratu dan budi bawalaksana adalah dua hal penting dalam khasanah kepemimpinan Jawa. Kedua kualitas ini merupakan modal penting untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Artinya, ucapan seorang pendeta atau raja tidak boleh berubah-ubah. Tidak boleh mencla-mencle. Apa yang dikatakan, maka itulah yang akan menjadi pegangan bagi rakyatnya. Apa yang telah diungkapkan, maka itulah yang harus ia laksanakan. Demikian halnya dengan budi bawalaksana. Pemimpin yang baik adalah yang luhur ing budi, jumbuh antaraning bawa lan laksana’. Alias berbudi luhur, dan sesuai antara ucapan dan tindakannya. Kualitas ini bisa dilihat dari iklan yang dipajang manakala pemilihan umum menjelang. Mampukah para pemimpin itu menjaga amanah? Terpenuhi atau tidakkah janji-janji yang diutarakan selama masa kampanye berjalan? Itulah yang akan membuktikan, berhasil tidaknya pemimpin yang bersangkutan. Makna Sabda Pandita Ratu Istilah sabda artinya kata, ucapan, janji atau pernyataan. Sedangkan pandhita merupakan simbol kejujuran, yang tidak pernah berbohong ataupun ingkar. Adapun istilah ratu merujuk pada pemangku kekuasaan. Sekali bersabda, maka apa yang dikatakan seorang raja akan didengar oleh rakyatnya sebagai harapan. Ibarat stempel, sekali dicap jadilah untuk selamanya. Sebaik-baiknya seorang raja adalah yang bermurah hati. Gemar berderma kepada rakyat, serta menentukan kebijakan yang menguntungkan kaum bawah. Raja yang baik juga gemar memenuhi janji. Tetapi tentu tidak semua pemimpin akan seperti itu. Ada yang berjanji menghentikan korupsi, tetapi selama pemerintahannya korupsi justru merajalela. Esuk dhele sore tempe, istilahnya. Alias pagi kedelai, sore tempe’. Ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan, dengan apa yang dilakukan, merupakan tanda, bahwasannya pemimpin tersebut hanya berkuasa demi kekuasaan semata. Bagi mereka kekuasaan adalah puncaknya. Padahal dari sudut pandang rakyat, kekuasaan adalah awal dan prosesnya. Apa yang terjadi selama dan setelah kekuasaan itu berjalan, itulah yang dapat dijadikan dasar penilaian. Karena itu tentukan pilihan Anda dengan bijak. Seperti apa pemimpin yang Anda inginkan? Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini Bacaan Paling Dicarisabda pandita ratu
Sebagaiseorang pemimpin yang mengaku memegang falsafah jawa, tentu saja tuan juga memegang falsafah "sabda pandita ratu, tan kena wola-wali" (seorang raja atau pemimpin harus bisa di pegang kata-katanya). Sekali lagi kamimengingatkan, pada tanggal 24 Juli 2019, tuan presiden mengatakan jangan membangun (bandara) di lokasi rawan bencana.
Oleh Majaputera Karniawan, Dalam kebudayaan Jawa, kita mengenal istilah “Sabda pandita ratu, tan kena wola wali”. Secara etimologi kata ini terdiri dari kata “Sabda” yang berarti kata, petuah, ucapan dari seorang raja/pemimpin; Kata “Pandita” adalah kata dalam Bahasa Sansekerta yang berarti “Orang yang arif bijaksana”; Kata “Ratu” sendiri dalam bahasa jawa berarti “Iswara”, kata Iswara à€ˆà€¶à„à€”à€° ÄȘƛvara dalam Bahasa Sansekerta masuk dalam ranah filsafat agama Hindu yang berarti pengendali atau penguasa. Bila dikesimpulkan, makna eksplisit dari Sabda Pandita Ratu adalah “Petuah dari penguasa yang arif/bijaksana”. Sedangkan kata “tan kena wola wali” bisa diartikan sebagai tidak boleh plin plan mencla mencle. Artinya sebagai pucuk pimpinan tertinggi, harus memiliki satu buah pendirian yang kuat dan tidak boleh berubah-ubah. Bagaimana bila berubah-ubah? Tentu hal ini akan menyulitkan para pelaksana dalam menaati apa yang menjadi sabda petuah tersebut. Ambil kasus dalam kisah teks Ramayana. Di mana sang Maha-Rajadiraja dari Ayodyapura bernama Prabhu Dasarata yang memiliki tugas utama “ksayanikangpapa nahan prayojana” menyirnakan kepapaan seluruh masyarakat yang dipimpin. Dikarenakan usia, beliau mulai mentransmisikan takhta kekuasaan pada generasi penerusnya. Saat itu ada beberapa putera mahkota dari 3 isteri Sang Prabhu, yakni 1 Ramawijaya putera dari Dewi Kausalya, 2 Bharata yang merupakan putera Dewi Kakayi, serta Laksamana dan Satrugna putera dari Dewi Sumitra. Pada mulanya keluar “Sabda Pandita Ratu” yang kedua, yakni Prabhu Dasarata menobatkan Ramawijaya sebagai penggantinya. Penobatan itu didukung oleh segenap pembesar kerajaan dan rakyat yang menyambutnya dengan gegap gempita. Pada mulanya semua pihak menerima, namun pelayan dari Dewi Kakayi yang bernama Mantara menghasut Sang Dewi agar meminta Prabhu Dasarata memberikan takhta kerajaan pada Bharata puteranya. Sebagai pengikat, Mantara meminta Dewi Kakayi mengingatkan Sang Prabhu dengan “Sabda Pandita Ratu” yang pertama, yakni janjinya akan menobatkan putranya dengan Dewi Kakayi sebagai Raja Ayodyapura. Hal ini ia sabdakan saat meminang Dewi Kakayi dahulu. Menghadapi dilematika demikian, Sang Prabhu dengan terpaksa “Melanggar” Sabda Pandita Ratu yang kedua demi menuruti Sabda yang pertama. Meski pada akhirnya kedua Sabda itu tetap dijalankan Sri Ramawijaya yang pada akhirnya tetap menjadi penerus takhta kerajaan setelah mengalami masa pembuangan dengan segala insiden yang dideritanya sebelum kembali sebagai maharaja. Sebagai akibat dari tidak konsistennya keputusan Sabda sang Prabhu, dalam teks kisah Ramayana digambarkan Sang Prabhu Dasarata mendapatkan ganjaran berupa wafat karena tidak kuasa menanggung derita akan rasa bersalah, karena sebagai maharaja bersabda atas dasar tendensi subjektif diterima lamarannya oleh Dewi Kakayi. Dari kisah ini bisa kita tarik beberapa kesimpulan, di antaranya Seorang pemimpin harus membuat keputusan yang objektif demi kepentingan semua pihak, bukan hanya kepentingan kelompok atau individu tertentu. Seorang pemimpin harus membuat keputusan yang bebas dari tendensi dan teguh pada pendiriannya. Setiap keputusan seorang pemimpin, terlebih pemimpin negara, itu bersifat sakral dan tidak bisa sembarangan dalam mengeluarkannya. Seorang pemimpin harus mengeluarkan keputusan yang bijaksana. Karena apabila tidak bijaksana, hal ini akan berdampak pada setiap lapisan rakyat yang dipimpinnya, singkat kata kalau rajanya ngawur, wajar rakyanya sengsara dan nelangsa. Keputusan apapun yang telah diambil seorang pemimpin akan menjadi kewajiban titah bagi mereka yang dipimpinnya. Artinya pesan dan nilai dalam perintah tersebut akan menjadi kebenaran hukum bagi mereka dan wajib diimplementasikan. Maka dari itu, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seorang pemimpin harus mendapat pendampingan berupa pertimbangan kebijakan-strategis dari mereka yang ahli di bidangnya, sekaligus memiliki pribadi seorang pandita orang bijaksana. Semua ini demi terlaksananya pemerintahan dengan baik. Kepemimpinan memang tidaklah mudah, namun harus ada yang mengisi posisi sebagai pemimpin. Memilih seorang pemimpin tidak bisa sembarangan dan sebagai pemimpin yang terpilih tidak bisa sembarangan dalam bertindak apalagi sampai bertindak hanya demi diri/kelompoknya sendiri saja. Pemimpin memiliki tugas mengayomi dan membawa kemajuan peradaban baik di masa kini maupun di masa depan. Posisi strategik seorang pemimpin juga menyematkan kewajiban dan tanggung jawab yang tinggi, sehingga tidak bisa asal-asalan. Inilah kepemimpinan yang Adiluhung Berkualitas tinggi, bernilai penuh keluhuran. Meski begitu saat ini kita dihadapkan dengan era modern yang penuh disrupsi, perubahan sangat cepat dan dinamis. Setiap kebijakan yang diambil akan mengarahkan kemana dan bagaimana kelak nasib negeri atau organisasi/komunitas, dalam lini lebih kecil di masa depan. Celakanya adalah masih banyak mereka yang memilih pemimpin bukan atas dasar kapasitas dan kapabilitas. Melainkan karena dasar figur yang populis dan/atau memiliki pengaruh besar semata. Ambil contoh yang banyak beredar, seorang tokoh yang sudah kawakan dan memiliki banyak pengalaman dalam suatu bidang, akan dikalahkan dengan figur yang lebih populis dan/atau pengaruh besar semata Biasanya tipe mereka yang banyak menata kata namun tidak bisa berbuat banyak. Maka sering kali ada sosok figur populis tertentu diusungkan menjadi seorang pemimpin, hal ini bukan atas dasar kapasitas dan kapabilitas, melainkan karena figur ini banyak disukai para pemangku kepentingan semata, meskipun pada akhirnya akan membuat kebijakan yang tidak tepat sasaran, beban ini menjadi tanggungan semua lapisan warga yang dipimpinnya. Dari sini bisa kita lihat beberapa sudut pandang, bagi seorang pemimpin penunjukan sebagai figur “Pandita Ratu” adalah tanggung jawab pisau bermata dua, bila dijalankan dengan baik dan bijaksana membawa keberkahan, bila dijalankan dengan asal-asalan menjadi bencana bagi diri dan warganya. Sedangkan bagi rakyat dan para pemangku kepentingan yang akan dipimpin, menunjuk seseorang menjadi figur “Pandita Ratu” hendaknya atas dasar sikap pandita arif-bijaksana, kapasitas, dan kapabilitasnya! Bukan karena popularitasnya semata, karena bila salah memilih pemimpin, juga akan berimplikasi pada mereka yang dipimpin. Daftar Pustaka Diakses 7 Februari 2023. Diakses 7 Februari 2023. Pidada, Jelantik Sutanegara. Sabda Pandita Ratu. Diakses 7 Februari 2023. Diakses 7 Februari 2023. SabdaPandita Ratu tan Kena Wola-Wali. Quotes tersebut jika diterjemahkan: Sabda raja tidak boleh mencla-mencle. Maka kecurigaan sultan terhadap fenomena klitih ini juga tidak boleh plin-plan. Berarti benar, ada grand design dalam teror yang membuat Jogja seperti GTA. Ada pihak yang diuntungkan oleh pemberitaan klitih.
dalamdunia orang jawa, mereka mengenal adanya ungkapan etika, yang berbunyi 'sabda pandita ratu/guru, tan kena wola - wali dan berbudi bawalaksana' yang dapat diartikan sebagai titah/pimpinan tidak dapat diulang, serta berbudi bawalaksana dapat berarti memiliki keteguhan memegang janji, setia pada janji dan/atau secara harfiah bawalaksana
jauhlebih populer, sabda pandita ratu, tan kena wola-wali. Ucapan pendeta/raja harus konsekuen, tidak boleh berubah-ubah. Apa yang diucapkan akan menjadi pegangan bagi rakyatnya. Apa yang dikatakan menjadi panduan semua pihak, bahwa itulah yang harus dilaksanakan. Dalam dunia pewayangan, sifat bawalaksana dianggap mempunyai nilai yang adiluhur.
z6EE.
  • u43k6ltknk.pages.dev/156
  • u43k6ltknk.pages.dev/372
  • u43k6ltknk.pages.dev/61
  • u43k6ltknk.pages.dev/113
  • u43k6ltknk.pages.dev/124
  • u43k6ltknk.pages.dev/149
  • u43k6ltknk.pages.dev/203
  • u43k6ltknk.pages.dev/149
  • u43k6ltknk.pages.dev/65
  • sabda pandita ratu tan kena wola wali